Senin, 03 Juni 2013

Posted by Unknown |


Bismillah ..

Semoga coretan sederhana, ampuh untuk menginspirasi kalian. Semoga coretan hati ini, mampu membuat hati kita semua tersentuh oleh untaian kata-kata sederhana ini. Sebab hidup, adalah nikmat-Nya. Sebab hidup, adalah pelajaran. Subhanallah.

The First Day On June! Aku, yang baru seumuran jagung, hidup didalam sebuah lembaga kemahasiswaan telah menyita waktuku banyak-banyak untuk berkesempatan mendapat pendidikan eksternal di luar jam perkuliahan. Hari kemarin saja, misalnya aku dan rekan-rekan lain bersibuk-sibuk ria melaksanakan sebuah kepanitiaan pleno kepengurusan lembaga. Pengalaman baru, menjadi sebuah panitia di lembaga tersebut adalah hal pertama selama aku resmi menjadi bagian dari struktural lembaga. 

Menjadi panitia, menjadikanku harus bersiap-siap dengan beberapa resiko yang akan terjadi nantinya. Menjadi panitia, menjadikanku harus professional untuk mesti mengerjakan semua secara baik. Sempurna, memang jauh dikata. Namun, semuanya selalu diusahakan dengan baik agar apa yang kita ingin capai bisa terlaksana dengan baik. Seperti halnya dengan apa yang terjadi denganku hari ini. Hari ini, adalah hari kedua kegiatan pleno lembaga. Tugas yang kuemban untuk menjadi panitia dalam seksi acara harus kutinggalkan sementara. Menjadi mahasiswa ala lembaga, harus pintar-pintar memainkan waktunya. Begitu pula yang kuharapkan dari diriku saat ini. Untuk sementara waktu, tugas yang kuemban, kutinggalkan sejenak. Dengan alasan, aku harus mengikuti ujian final praktikum Kimia Dasar. Ini tak menjadi masalah, karena kesadaran dan teman-teman yang sangat mengerti dengan apa yang kuhadapi kini.

Takalar-Makassar. Dengan mengendarai motorku, aku melaju menuju Makassar. Kurang lebih perjalananku, hanya memakan waktu selama 40 menit. Aku tiba dan menuju ruangan ujian. Dan, aku telah mengikuti ujian final tersebut. Hanya inilah, tujuan utamaku. Untuk harus meninggalkan tugas seentara waktu sebagai panitia kegiatan lembaga di Takalar.

Namun, sejenak. Kutarik buku merahku. Kira-kira, ukurannya hanya sekitaran 8 X 15 cm, agak tebal, dan kerap kali menemaniku, menuliskan beberapa kegiatan  yang telah kurancang tiap hari. Aku tertuju kepada dua kegiatan yang rutin kulakukan tiap Sabtu Sore. Baru kuperhatikan betul, ternyata! Tiap Sabtu, aku memiliki dua agenda kegiatan rutin. Kegiatan ini, sebenarnya sederhana. Namun berkesan menarik dan agak rumit. Menjadi seorang pengajar. Yah. Inilah rutinitasku.
Tiap Sabtu Sore: Mengajar Sekolah KAMI dan Harvard School. Dua sekolah dengan karakteristik yang sangat berbeda. Dua sekolah dengan kepribadian yang berbeda. Baik dari fasilitas, siswa, dan pengajarnya sendiri. Sekolah Rakyat KAMI, aku memiliki siswa-siswa yang semangat belajarnya sangat tinggi, yang jika volunteer dating hanya dengan membawakan mereka pensil warna, mereka pasti sudah senang tingkat dewa. Sekolah KAMI ini, diisi oleh mereka, komunitas pemulung. Aku seringkali malu. Aku seringkali minder. Aku saja yang telah diberikan nikmat untuk bisa merasakan jenjang pendidikan yang terstruktrur, masih saja sering mengeluh dengan apa yang biasa kudapatkan. Mereka yang kusebut sebagai guru terbaik dalam hidupku.  Namun rutinitasku untuk hari ini, tidak bisa kulakukan. Dengan alasan, aku harus bersiap-siap lagi balik ke Takalar untuk menunaikan kewajibanku sebagai panitia. Muncul rasa bersalah dalam benakku. Minggu kemarin, aku masih terbayang dengan wajah ceria, siswa-siswaku,seraya berkata ,”Kak, besok, sering-seringKi’ datang kesini’ nah kak,.(Artinya, kak sering-sering yah mampir kesini) Maafkan aku, adik-adik. Aku selalu merindukan kalian. Hanya saja, mungkin untuk hari ini, kita masih belum diberi kesempatan untuk bertemu lagi.

Lain halnya dengan Harvard School. Ini adalah salah satu tempatku untuk berbagi ilmu bersama adik-adik centil, manis, gagah, cantik, cakep, dan lain sebagainya. Di tempat ini pula, kukembangkan kemampuanku untuk menjadi tentor yang sebaik-baiknya. Aku menagajar siswa SD untuk pelajaran IPA disini. Aku sudah punya banyak siswa juga, lho.
Menjadi pengajar dan mengajar adalah salah satu kewajibanlist yang telah kuprioritaskan pula dalam hidupku. Karena mengajar, aku bisa belajar banyak. Karena mengajar, aku seperti hidup dalam bingkai persaudaraan dan solidaritas. Dan karena mengajar, aku bisa mengenal bagaimana belajar yang baik, memberi dan berbagi bersama.


Sabtu, 31 Mei 2013 @Harvard School. Aku duduk, sembari menunggu siswa SD-ku. Tak lama kemudian, seorang siswa sebutlah adik F datang. Adik F, adalah salah seorang dari siswa kelas V SD yang senang sekali menggambar. Menggambar telah menjdi habitsnya. Jadi, tak salah ketika aku mengajar di kelasnya, tangannya pasti menggambar sesuatu, menggambar apa yang menjadi inspirasinya.

Kuucapkan selamat datang ke Adik F. Dia tersenyum, meletakkan tasnya, dan mendekat kepadaku. Aku yang dari tadi hanya memainkan laptop, kemudian menanyakan bagaimana kabarnya, sekolahnya, dan lain sebagainya. Sebuah perbincangan hangat terjadi antara aku dan adik F. Aku larut dalam perbincangan mengenai curhatan Adik F. Di tengah perbincangan, aku terkejut ketika Adik F ini menanyakan perihal keluargaku. Namun, setelah kucermati Adik F ini lebih dominan menanyakan tentang bagaimana sosok Ayah dan Ibu menurutku. 

Aku menjawab dan bertutur mengenai sosok Ayahku. Aku bertutur dengan bangga ketika menceritakan sosok beliau kepada Adik F. Betapa senangnya. Ini adalah hal pertama yang pernah kurasakan, ketika ada seorang siswa yang memintaku untuk bercerita banyak tentang orangtuaku. 
Ayahku adalah sosok yang tegas, penyayang, dan pekerja keras. Sedangkan ibuku adalah seorang wanita yang sangat peduli dengan anak-anaknya. Mereka semua adalah sosok inspirasi dalam hidupku. Kurang lebih, begitulah aku menceritakan tentang beliau ke Adik F.
Adik F dengan muka polos, penuh tanda Tanya dikepalanya, menyimak baik-baik satu persatu jawaban yang kulontarkan. Setelah aku menjawab dan bertutur, aku menanyakan balik, tentang pertanyaan yang dia lontarkan kepadaku. Namun, ada yang aneh secara tiba-tiba dari Adik F. Dia pun berkata kepadaku, 

Adik F    : “Enak, yah Kak. Punya Ayah dan Ibu. Kita bisa tinggal sama-sama. Makan bareng.
                  Diperhatikan..,”
Aku     : “ Iyah, dik. Semua orang tua, siapapun pasti penyayang. Pasti selalu peduli dengan anak-anaknya.    Begitu juga kan, dengan adik F., kan.
Adik F   : “ Kak, aku sudah tidak punya ayah. Ibuku, kerjanya sibuk. Hanya tinggal sama nenek dan adikku.

Adik F kembali larut ketika menceritakan tentang orangtuanya kepadaku. Aku terkesima dan merasa bersalah. Ternyata adikku ini. Aku sejenak baru sadar, mengapa dari tadi memintaku untuk bercerita tentang orangtuaku. Harus apa aku ini? Tiba-tiba Adik F terdiam. Matanya berkaca-kaca sembari memainkan laptopku. Aku harus mencari cara untuk membuat Adik F tertarik lagi untuk bercerita. Aku mengeja apa yang baru saja dikatakan Adik F. Luar biasa menurutku. Ayahnya telah meninggal hampir 5 bulan yang lalu, sedangkan ibunya adalah seorang direktur di sebuah perusahaan. Kini, ia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bersama dengan neneknya. Ketika memainkan laptop, dia menemukan folder dengan nama “mewarnai bersama KAMI”. Menemukan file fotoku ketika mewarnai bersama dengan siswaku di Sekolah KAMI.

Aku pun bercerita lagi, ketika dia menanyakan siapa-siapa saja yang ada di foto itu. Dia pun juga berujar, tatkala kuceritakan tentang diriku di sekolah KAMI. 

“ Aku punya banyak adik-adik. Mereka semua berasal dari latar belakang keluarga yang macam-macam, Adik F. Ada yang orangtuanya seorang supir pete-pete, buruh, dan rata-rata pemulung. Adik-adikku ini luar biasa loh, dik. Di umurnya yang lebih muda dari kamu, udah bisa cari kerja. Tau tidak, selain kerja, mereka itu jago belajarnya, semangatnya untuk belajar tinggi, meskipun sekolahnya tidak seperti sekolahnya Adik F. Hehehe… Ujarku seraya memeberikan motivasi kembli ke Adik F.

“ Loohh? Kok cari kerja kak? Memangnya gaji orang tuanya tidak cukup ya??,” tanya Adik F

“ Cukup kok, dik. Tapi, karena mereka terlalu semangat, makanya dia sekolah sambi kerja., “ Hebat, kan?
Tapi, adik F, lebih hebat juga kok. Pokoknya Adik F harus jadi anak kebanggaan Almarhum Bapaknya dan Ibunya. Harus belajar banyak. Harus belajar keras. Adik F kan mau jadi arsitektur.

Bersyukurlah, Adik F! Itu kalimat terakhirku sebelum bel kelas pertanda masuk.

Akhirnya, perbincangan sore itu, memberikanku banyak pelajaran. Banyak hikmah yang bisa kupetik. Disisi lain kehidupan, masih banyak yang tidak beruntung  dibanding kita. Aku tetap merasa bersalah, tatkala kuceritakan banyak tentang orangtua dihadapan adik kecilku, Adik F. Yang mungkin dengan kuceriterakannya menyimpan rasa jealous pada dirinya. Aku paham, ketika bulir-bulir air matanya memperlihatkanku tentang kesedihan hatinya. Aku paham, dan tentu saja aku mencoba merasakan apa yang dirasakan adik kecil itu. Namun, aku sengaja menceritakan perihal sekolah KAMI kepada anak yang masih belum terlalu paham banyak tentang ini. Semoga arti dan pelajaran syukur, telah dia terima. Bgitu pula diriku. Semoga ini menjadi pengingatku, dikala diriku dilanda problematika.
Triiitttttttttt (Bunyi bel pertanda masuk kelas)

Adik F menatapku sejenak. Aku tahu, raut mukanya menyipan banyak sekali pertanyaan kepadaku. Aku sudah paham dengan karakternya. Aku jadi semangat lagi. Siswaku yang selalu banyak tanya ketika aku menjelaskan pelajaran IPA di kelasnya. Siswaku yang sangat suka sekali menggambar, dan siswaku yang telah mengetahui arti tegar dalam hidupnya, Dialah Adik F.

#1

2 komentar:

  1. wah, engkawet kisahmu hebat.. sekarang aku yang iri sama kamu... kamu sudah bisa berbagi lebih kepada banyak anak anak diluar sana, kamu sudah merasakan menjadi guru sebelum menjadi guru.... mau kamu berbagi juga denganku, ajak aku bertemu dengan mereka.. ikut mengajar anak anak kecil itu....

    BalasHapus
  2. iuhhhh.... Gag ad yang hebatt syg. Kapan-kapan aku ajak yaaaaaa.. :D

    Nnti kusampaikan salammu, dan kuperkenalkan dirimu ke adik-adikku. ^^

    BalasHapus