(Raja Bone ke – XXV)
Menelusuri sejarah eksistensi
kejatidirian masyarakat Bone pada masa lampau adalah hal yang positif dan
merupakan hal yang bisa memberikan nilai-nilai pelajaran bagi masyarakat masa
kini. Ditengah badai globalisasi, arus perkembangan zaman yang mampu memicu
tenggelamnya tradisi, budaya, ataupun sejarah, jati diri masyarakat Bugis yakni
Siri na Pacce , harus juga mampu
melawan ancaman yang dialaminya. Maka dengan menggali nilai-nilai kepahlawanan,
perjuangan, dan sosok kharismatik dari beberapa pahlawan ataupun pejuang
nasional pada masa lampau yang berhasil merebut kemerdekaan. Kemerdekaan yang
berbasis bebas dari belenggu penjajah. Adakah pemuda hari ini yang mampu
demikian? Semoga dengan tulisan sederhana ini, memberikan kita kepada satu
kisah inspiratif yang bisa menggugah semangat nasionalisme dan kepeduliaan
terhadap bangsa kita tercinta Indonesia. Dan tulisan ini saya khususkan pula
kepada daerah asal, Kabupaten Bone.
Adalah We Maniratu Arung Datu;
salah satu dari 6 raja perempuan yang pernah memerintah di Kerajaan Bone,
selain itu ada pula We Benrigau Makkalampie Mallajange ri Cina (Raja IV), We
Tenri Patuppu Raja Bone (Raja Bone X), Batari Toja Daeng talaga (Raja Bone
XVII), Pancaittana Besse Kajuara (Raja Bone XXVIII), dan Fatimah Banri Raja
Bone (Raja Bone XXX). Pada masa kepimpinannnya, I Manneng Arung Data dikenal
sebagai sosok raja dan pemimpin yang gigih menentang penjajahan Belanda.
Mengenai penamaanya, I Manneng Arung
Datu juga diberikan gelar Matinroe
ri Kessi (wafat di Kessi). Dalam Surek
Bilang (catatan harian) La Tenri Tappu To Appaliweng Matinroe ri
Rompegading, yang tidak lain adalah ayah kandung I Manneng Arung Datu, beliau
dihadiahkan akkarungeng (wilayah
kekuasaan) yaitu “Data” pada saat acara riuluk’
sulolona (acara tradisional atas kelahiran seorang anak). Dengan demikian
anak perempuannya itu, diberilah nama We Maniratu Arung Data.
Gadis tersebut memiliki sikap pemberani yang meleihi sikap laki-laki. Keberaninnya dalam membela hak-hak yang benar, menjadikannya dipercayakan sebagai Arumpone (Raja Bone) ke XXV. Sama seperti saudaranya yakni To Appatunru Palakka (Raja Bone XXIV) yang juga sebagai raja yang anti-penjajahan, kehebatan luar biasa juga ditampakkan ketika pada saat kepemimpinan We Mani diserang oleh kekuatan militer Belanda dibawah pimpinan Jenderal Van Geen, membuatnya kewalahan untuk menghadapi perlawanan raja-raja Bone yang sangat tegas dan menolak untuk menjalin kerja sama kepada pihak Belanda. Maka dari itu, pasca pertempuran tang terjadi di Pantai dan Pelabuhan Bajoe tersebut, Van Geen mengirimkan surat kepada Arung Pitu Kerajaan Bone dan juga kepada kerajaan Bone, untuk segera bersama-sama menyerahkan diri di Watampone. Masa-masa sulit dialami oleh Van Geen, karena adanya laporan bahwa telah pecah juga perang di Jawa yang notabene dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Pasukannya pun dikirim ke Jawa, begitupula dengan Mayor Van Geen juga memutuskan untuk kembali ke Makassar.
Terlepas dari itu, ketika
Gubernur Jenderal van Der Capellen datang ke Makassar untuk mengajak kerjasaa
dengan raja-raja di Sulawesi Selatan, We Maniratu Arung Data kembali memperlihatkan
ketangkasannya untuk menolak kerjasama tersebut. Padahal, sejumlah raja
bersedia hadir untuk menandatangani pembaharuan dari Perjanjian Ujung Pandang
tersebut. Beberapa ajakan kerjasama yang telah diterimanya, namun ia tetap pada
itikadnya untuk menolak penjajahan asing guna menyelamatkan Bone pada saat itu.
Ia lebih memilih untuk membentuk dan beralih kepada pasukannya, mengerahkan
segala kemampuan untuk menghadapi musuh-musuh penjajah.
Hingga pada tahun 1824, ketika
Jenderal Mayor JJ van Geen kembali datang membawa tugas ekspedisi. We Maniratu
Atung Data dengan kelincahannya, telah mempersiapkan strategi khusus untuk
menghadapi ekspedi Van Geen tersebut. Bahkan dengan semangat membara, We
Maniratu Arung Data membentuk pasukan wanita yang dilengkapi dengan senjata
Lawida, dan juga meningkatkan pasukan laki-laki dibeberapa titik pertahanan. Tak
lupa, semangat selalu ia torehkan kepada pasukannya untuk melawan penjajah
Belanda .. “ Jangan biarkan penjajah
Belanda menginjakkan kakinya di Tana Bone” begitu kalimat yang selalau
dilontarkannya.
Hubungan dengan daerah tetangga
pun harmonis. Begitu kuat dukungan yang diberikan olehnya. Hal ini ditandai
juga ketika pasukan Belanda ingin menembus wilayak Kerajaaan Bone, Belanda pun
terlebih dahulu berhadapan dengan Maros, Bantaeng, Bulukumba, dan Sinjai. Hingga
pada akhirnya, setelah Sinjai, Belanda pun menduduki wilayah Bone.
We Maniratu Arung Data, juga
mengingatkan kita pada sosok-sosok wanita pejuang masa lalu, seperti Dewi
Sartika, R.A. Kartini, Cut Nyak Dien, dan lain-lain. Adakah sosok wanita yang
tegas seperti itu hari ini? Semoga tulisan ini menjadi peringatan kepada kita
semua, untuk melepaskan Indonesia dari penjajah. Penjajah hari ini tak lain
adalah penjajah masa lampau. Dulu, Indonesia dijajah oleh beberapa kelompok
penguasa dari Negara Asing. Begitupula, sekarang. Saat ini, masalah pokok kita
dijajah oleh teknologi, globalisasi, dan juga hal-hal yang banyak merusak
moralitas bangsa, itulah bentuk penjajahan saat ini. Kemerdekaan yang telah
berhasil direbut 17 Agustus itu, hanya akan menjadi formalitas Kemerdekaan Sementara belaka, jika
pemuda pemudi hari ini tidak mampu memerdekan dirinya dan masyarakatnya dari
ancaman pengaruh globalisasi yang negatif.
Mari berkarya.
Salam Muda, Cerdas, dan
Berprestasi
0 Comment:
Posting Komentar