Rabu, 31 Juli 2013

Posted by Unknown |

(Raja Bone ke – XXV)
Menelusuri sejarah eksistensi kejatidirian masyarakat Bone pada masa lampau adalah hal yang positif dan merupakan hal yang bisa memberikan nilai-nilai pelajaran bagi masyarakat masa kini. Ditengah badai globalisasi, arus perkembangan zaman yang mampu memicu tenggelamnya tradisi, budaya, ataupun sejarah, jati diri masyarakat Bugis yakni Siri na Pacce , harus juga mampu melawan ancaman yang dialaminya. Maka dengan menggali nilai-nilai kepahlawanan, perjuangan, dan sosok kharismatik dari beberapa pahlawan ataupun pejuang nasional pada masa lampau yang berhasil merebut kemerdekaan. Kemerdekaan yang berbasis bebas dari belenggu penjajah. Adakah pemuda hari ini yang mampu demikian? Semoga dengan tulisan sederhana ini, memberikan kita kepada satu kisah inspiratif yang bisa menggugah semangat nasionalisme dan kepeduliaan terhadap bangsa kita tercinta Indonesia. Dan tulisan ini saya khususkan pula kepada daerah asal, Kabupaten Bone. 

Adalah We Maniratu Arung Datu; salah satu dari 6 raja perempuan yang pernah memerintah di Kerajaan Bone, selain itu ada pula We Benrigau Makkalampie Mallajange ri Cina (Raja IV), We Tenri Patuppu Raja Bone (Raja Bone X), Batari Toja Daeng talaga (Raja Bone XVII), Pancaittana Besse Kajuara (Raja Bone XXVIII), dan Fatimah Banri Raja Bone (Raja Bone XXX). Pada masa kepimpinannnya, I Manneng Arung Data dikenal sebagai sosok raja dan pemimpin yang gigih menentang penjajahan Belanda. Mengenai penamaanya, I Manneng Arung  Datu juga diberikan gelar Matinroe ri Kessi (wafat di Kessi). Dalam Surek Bilang (catatan harian) La Tenri Tappu To Appaliweng Matinroe ri Rompegading, yang tidak lain adalah ayah kandung I Manneng Arung Datu, beliau dihadiahkan akkarungeng (wilayah kekuasaan) yaitu “Data” pada saat acara riuluk’ sulolona (acara tradisional atas kelahiran seorang anak). Dengan demikian anak perempuannya itu, diberilah nama We Maniratu Arung Data. 

Gadis tersebut memiliki sikap pemberani yang meleihi sikap laki-laki. Keberaninnya dalam membela hak-hak yang benar, menjadikannya dipercayakan sebagai Arumpone (Raja Bone) ke XXV. Sama seperti saudaranya yakni To Appatunru Palakka (Raja Bone XXIV) yang juga sebagai raja yang anti-penjajahan, kehebatan luar biasa juga ditampakkan ketika pada saat kepemimpinan We Mani diserang oleh kekuatan militer Belanda dibawah pimpinan Jenderal Van Geen, membuatnya kewalahan untuk menghadapi perlawanan raja-raja Bone yang sangat tegas dan menolak untuk menjalin kerja sama kepada pihak Belanda. Maka dari itu, pasca pertempuran tang terjadi di Pantai dan Pelabuhan Bajoe tersebut, Van Geen mengirimkan surat kepada Arung Pitu Kerajaan Bone dan juga kepada kerajaan Bone, untuk segera bersama-sama menyerahkan diri di Watampone. Masa-masa sulit dialami oleh Van Geen, karena adanya laporan bahwa telah pecah juga perang di Jawa yang notabene dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Pasukannya pun dikirim ke Jawa, begitupula dengan Mayor Van Geen juga memutuskan untuk kembali ke Makassar. 

Terlepas dari itu, ketika Gubernur Jenderal van Der Capellen datang ke Makassar untuk mengajak kerjasaa dengan raja-raja di Sulawesi Selatan, We Maniratu Arung Data kembali memperlihatkan ketangkasannya untuk menolak kerjasama tersebut. Padahal, sejumlah raja bersedia hadir untuk menandatangani pembaharuan dari Perjanjian Ujung Pandang tersebut. Beberapa ajakan kerjasama yang telah diterimanya, namun ia tetap pada itikadnya untuk menolak penjajahan asing guna menyelamatkan Bone pada saat itu. Ia lebih memilih untuk membentuk dan beralih kepada pasukannya, mengerahkan segala kemampuan untuk menghadapi musuh-musuh penjajah. 

Hingga pada tahun 1824, ketika Jenderal Mayor JJ van Geen kembali datang membawa tugas ekspedisi. We Maniratu Atung Data dengan kelincahannya, telah mempersiapkan strategi khusus untuk menghadapi ekspedi Van Geen tersebut. Bahkan dengan semangat membara, We Maniratu Arung Data membentuk pasukan wanita yang dilengkapi dengan senjata Lawida, dan juga meningkatkan pasukan laki-laki dibeberapa titik pertahanan. Tak lupa, semangat selalu ia torehkan kepada pasukannya untuk melawan penjajah Belanda .. “ Jangan biarkan penjajah Belanda menginjakkan kakinya di Tana Bone” begitu kalimat yang selalau dilontarkannya. 

Hubungan dengan daerah tetangga pun harmonis. Begitu kuat dukungan yang diberikan olehnya. Hal ini ditandai juga ketika pasukan Belanda ingin menembus wilayak Kerajaaan Bone, Belanda pun terlebih dahulu berhadapan dengan Maros, Bantaeng, Bulukumba, dan Sinjai. Hingga pada akhirnya, setelah Sinjai, Belanda pun menduduki wilayah Bone. 

We Maniratu Arung Data, juga mengingatkan kita pada sosok-sosok wanita pejuang masa lalu, seperti Dewi Sartika, R.A. Kartini, Cut Nyak Dien, dan lain-lain. Adakah sosok wanita yang tegas seperti itu hari ini? Semoga tulisan ini menjadi peringatan kepada kita semua, untuk melepaskan Indonesia dari penjajah. Penjajah hari ini tak lain adalah penjajah masa lampau. Dulu, Indonesia dijajah oleh beberapa kelompok penguasa dari Negara Asing. Begitupula, sekarang. Saat ini, masalah pokok kita dijajah oleh teknologi, globalisasi, dan juga hal-hal yang banyak merusak moralitas bangsa, itulah bentuk penjajahan saat ini. Kemerdekaan yang telah berhasil direbut 17 Agustus itu, hanya akan menjadi formalitas Kemerdekaan Sementara belaka, jika pemuda pemudi hari ini tidak mampu memerdekan dirinya dan masyarakatnya dari ancaman pengaruh globalisasi yang negatif.

Mari berkarya.
Salam Muda, Cerdas, dan Berprestasi




0 Comment:

Posting Komentar